April 21, 2025 | admin

UU Baru Perluas Peran Militer di Pemerintahan, Picu Pro dan Kontra

UU Baru Perluas Peran Militer di Pemerintahan, Picu Pro dan Kontra

Jakarta, April 2025 – Pemerintah Indonesia resmi mengesahkan undang-undang baru yang memperluas peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam lingkup pemerintahan sipil. UU ini menjadi sorotan nasional dan internasional karena dianggap sebagai langkah mundur dalam demokrasi pascareformasi 1998.

Undang-undang ini mengatur bahwa personel aktif militer kini bisa menduduki posisi strategis di sejumlah lembaga sipil seperti Kementerian, Kejaksaan Agung, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), hingga Badan Narkotika Nasional (BNN). Tak hanya itu, batas usia pensiun prajurit juga diperpanjang secara signifikan.

Alasan Pemerintah: Tantangan Geopolitik dan Stabilitas Nasional

Pemerintah, dalam pernyataan resminya, menegaskan bahwa UU ini merupakan respons terhadap kondisi global yang semakin tidak menentu. Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, yang juga menjabat sebagai Presiden RI periode 2024-2029, menyampaikan bahwa stabilitas nasional harus menjadi prioritas di tengah ancaman regional.

“Kami melihat adanya kebutuhan penyesuaian terhadap ancaman balatkulturevi.org dan kawasan. Peran TNI bukan hanya menjaga kedaulatan dari sisi pertahanan militer, tetapi juga harus mampu hadir dalam sistem pemerintahan untuk mendukung ketahanan nasional secara holistik,” ujar Presiden Prabowo dalam konferensi pers di Istana Negara.

Selain itu, pemerintah menyebut banyak personel militer memiliki kompetensi teknis dan kepemimpinan yang mumpuni, yang bisa bermanfaat dalam memperkuat birokrasi negara.

Tanggapan Publik dan Akademisi: Kembali ke Masa Orde Baru?

Langkah ini langsung menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Pengamat politik dari UGM, Dr. Yohan Prasetya, menyebut UU tersebut sebagai “sinisme reformasi”.

“Kita justru sedang melihat pembalikan arah demokrasi. Salah satu semangat reformasi adalah menghapuskan dwifungsi ABRI. UU ini seperti memutar ulang sejarah,” tegas Yohan.

Protes juga bermunculan di berbagai kota besar. Mahasiswa dari berbagai universitas menggelar aksi damai menolak UU tersebut. Spanduk bertuliskan “Militer Kembali ke Barak” dan “Demokrasi Bukan Militerisme” tampak di depan gedung DPR RI pada 18 April lalu.

Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyuarakan kekhawatiran tentang potensi pelanggaran HAM bila militer terlalu banyak dilibatkan dalam urusan sipil.

Militer Tanggapi Kritik: Kami Profesional

TNI melalui https://taron-egerton.com/ Mabes TNI menyatakan bahwa personel militer tetap akan menjalankan tugas secara profesional dan tunduk pada hukum sipil bila ditempatkan di lembaga non-militer.

“Kami siap membantu negara dalam berbagai aspek, namun tetap dalam koridor hukum dan profesionalisme. Jangan khawatir, kami tidak akan kembali seperti era Orde Baru,” kata Laksamana Muda Setyo Wibowo.

Beberapa pensiunan jenderal pun turut memberikan pandangan beragam. Ada yang mendukung karena dianggap mempercepat efisiensi birokrasi, tapi ada pula yang mengingatkan agar peran militer tidak berlebihan dan tetap terkendali secara konstitusional.

Konteks Sejarah dan Perbandingan Global

Indonesia memiliki sejarah panjang dengan peran militer dalam pemerintahan, terutama pada masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Dwifungsi ABRI memungkinkan militer memegang jabatan sipil dalam skala besar, termasuk di DPR dan pemerintahan daerah.

Setelah reformasi, peran ini dibatasi melalui UU TNI dan UU Kepolisian, yang memisahkan tegas antara domain militer dan sipil. Kini, langkah ini dianggap sebagai bentuk “restorasi” militerisme oleh beberapa pengamat.

Namun, di sisi lain, beberapa negara juga menerapkan sistem serupa. Misalnya di Thailand dan Mesir, militer memiliki peran besar dalam politik, meski tidak tanpa kritik keras dari dunia internasional.

Apa Dampaknya bagi Demokrasi Indonesia ke Depan?

Analis dari lembaga riset IndoDemocracy menyebut bahwa UU ini akan mengubah wajah birokrasi sipil ke depan. Dikhawatirkan, pengambilan keputusan akan lebih “top-down” dengan pendekatan ala militeristik yang cenderung tertutup dan kaku.

Namun, pemerintah meyakinkan publik bahwa ini bukan bentuk kudeta halus, melainkan modernisasi tata kelola negara dengan pendekatan “nasionalisme strategis”.

Hingga saat ini, uji materi UU di Mahkamah Konstitusi belum diajukan. Namun berbagai kelompok masyarakat sipil tengah menggalang dukungan agar UU ini direvisi atau dicabut.

Share: Facebook Twitter Linkedin